ARTIKEL UPAH MINIMUM" PERMASALAHAN YANG SELALU BERULANG (Sri Haryani)



UPAH MINIMUM: PERMASALAHAN YANG SELALU BERULANG


Upah minimum selalu menjadi permasalahan yang terjadi berulang-ulang, bukan hanya pada proses penetapannya tetapi juga setelah ditetapkan. Semua ini terjadi karena baik pekerja maupun pengusaha berada pada dua kutub keinginan yang berbeda, yaitu pekerja menginginkan upah yang dapat memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sementara pengusaha menginginkan memberikan upah yang rendah sehingga keuntungan perusahaan meningkat. Keterlibatan Dinas tenaga Kerja, Bupati/Walikota, atau Gubernur dalam penetapan Upah Minimum diharapkan mampu menjembati tarik ulur penetapan upah dan mengawasi pembayaran upah minimal yang telah ditetapkan.
Pekerja yang menemui Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi merupakan wujud perjuangan pekerja tahap ketiga. Pada perjuangan tahap pertama mereka berjuang agar Upah Minimum dapat meningkat besarannya sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup layak. Pada prakteknya belum ada Upah Minimum yang mampu memenuhi Kebutuhan Hidup Layak, yaitu …… Pengusaha keberatan karena besarnya relatif jauh dari Upah Minimum yang hanya mampu untuk hidup …..
Ketika Upah Minimum sudah ditetapkan dan diberlakukan mulai 1 Januari tahun berikutnya,  puas tidak puas  mereka harus bergerak pada berjuang tahap kedua, yaitu mengawal agar pengusaha memenuhi besarnya Upah Minimum yang telah ditetapkan.  Perusahaan wajib membayar upah sebesar Upah Minimum, kecuali perusahaan tersebut mengajukan “penangguhan pembayaran Upah Minimum”  ke Kantor Disnaker Setempat, dengan melengkapi persayaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. 
Kasus pekerja atau wakil pekerja yang menemui Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi (Muhainim Iskandar), pada saat kunjungan ke Pati tentunya  mengadukan pembayaran upah di bawah ketentuan Upah Minimum untuk tahun 2009, karena Upah Minimum 2010 baru berlaku 1 Januari 2010. Mereka berjuang agar pengusaha memenuhi besarnya Upah Minimum yang telah ditetapkan. Masalah pengawasan pembayaran upah sebesar minimal Upah Minimum  ini menjadi demikian  mendesak karena “disinyalir” masih banyak perusahaan yang tidak membayar upah pekerjanya minimal sebesar UMP. 
Kewenangan pengawasan secara yuridis ada pada Dinas Tenaga  Kerja  setempat, baik di tingkat kabupaten maupun kota. Lebih dari itu pada masing-masing  kantor dinas tersebut ada “pegawai pengawas” yang antara lain yang antara lain bertugas untuk mengawasi pembayaran upah pekerja minimal sebesar Upah Minimum. Namun demikian Dinas-dinas tersebut mempunyai keterbatasn jumlah personil pengawas, sementara jumlah perusahaan yang harus diawasi dari waktu ke waktu terus meningkat jumlahnya. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab banyaknya pelaku usaha yang tidak membayar upah pekerjanya minimal sebesar Upah Minimum, meskipun sebenarnya secara financial mampu. Bagaimana menilai kemampuan pengusaha untuk membayar sebesar Upah Minimum dapat dilihat dari laporan keuangan mereka. Untuk perusahaan bentu CV atau perusahaan perseorangan, hal ini menjadi sulit karena tidak ada keharusan mereka membuat laporan keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik. Untuk itu dapat dilakukan dilihat dari laku tidaknya barang dan jasa perusahaan, perkembangan perusahaan,  bahkan dari perilaku pengusaha dalam kesehariannya dapat menjadi salah satu sinyal bahwa perusahaan sebenarnya mampu membayar sebesar Upah Minimum. Sementara itu untuk perusahaan bentuk PT ada kewajiban untuk menyusun laporan keuangan dan membayar pajak penghasilan (laba) perusahaan. Apabila perusahaan membayar pajak penghasilan ke kantor Pajak, berarti perusahaan mendapatkan laba. Perusahaan yang sahamnya listing di Bursa Efek, seperti beberapa perusahaan rokok yang ada di Kudus, Kediri, Malang kemampuan membayar Upah Minimum dapat dilihat bukan hanya dari pembayaran pajak penghasilan ke kantor pajak, tetapi juga dari laporan mereka ke Bursa.Efek yang dapat diakses bebas oleh siapapun .
Agar permasalahan penetapan upah dan pengusaha membayar upah sebesar yang telah ditetapkan, kiranya perlu campur tangan banyak pihak.  Dinas Ketenagakerjaan Kabupetn/.Kota atau bahkan Propinsi menjadi pihak yang paling bertanggung jawab karena sesuai dengan fungsinya di bidang ketenagakerjaan. Untuk itu Dinas perlu melakukan uiapay lain, seperti sosialisasi baik ke pelaku usaha maupun pekerja atau serikat pekerja. Dukungan Disnaker untuk pembentukan Serikat Pekerja tingkat perusahaan secara tidak langsung akan memperkuat bargaining power pekerja, termasuk dalam pengupahan.
Upaya untuk memaksa pelaku usaha agar minimal membayar upah pekerjanya sebesar UMP tertuang dalam UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. Pelanggaran terhadap undang-undang tersebut pelaku usaha dapat dikenai  sanksi penjara 1 tahun sampai selama-lamanya 4 tahun atau denda sebesar 100 juta rupiah dan sebanyak-banyaknya 400 juta rupiah. Di lihat dari sisi sanksi yang dikenakan “nampaknya” mampu memaksa pelaku usaha untuk mentaatinya. Kenyataannya sangat jarang kita temukan dalam praktek pelaku usaha yang dikenai sanksi ini. Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan sanksi ini jarang dikenakan antara lain tingginya tingkat pengangguran sehingga ada kekhawatiran akan mempersempit lapangan usaha. Dari sisi pelaku usahanya sendiri masih banyak yang menganggap pekerja tidak lebih dari sekedar faktor produksi.  Dengan begitu apabila ada permasalahan dengan pekerja, maka dapat segera disubstitusi dengan pekerja yang lain.
Kalangan akademisi nampaknya juga jarang berbicara mengenai permasalahan upah ini. Mereka  memberikan “maklum”  kepada pelaku usaha yang melanggarnya dengan asumsi perekonomian Indonesia perlu ditumbuhkan dengan berbagai cara, termasuk efisiensi tenaga kerja dan kenyataan akan tingginya tngkat pengangguran. Barangkali tema pengupahan diakitkan dengan produktifitas akan mampu melahirkan kesediaan pengusaha untuk membayar upah yang lebih tinggi, dengan imbangan pekerja meningkatkan produktifitas kerjanya.  Mengingat banyaknya akademisi manajemen di Indonesia dan Yogyakarta khususnya diharapkan masing-masing akademisi dapat secara individu maupun koleftif menggagas alternative pemcahan maslah Upah Minimum yang selalu berulang setiap  tahun. Selain itu kalangan akdemisi juga dapat  menggunakan norma etika bisnis, tidaklah etis di satu sisi pengusaha menikmati laba  yang melimpah-limpah sementara pekerjanya yang berperan dalam pembentukan laba hidup secara pas-pasan atau bahkan dalam kesulitan. Prinsip empati dapat diketengahkan untuk menumbuhkan kesediaan mereka, dengan berbagi keuntungan yang dihasilkan atas kerja sama pekerja dengan pengusaha.
Tidak ketinggalan ajakan bagi pekerja untuk secara mandiri  berperan sebagai pengawas pengupahan di tingkat perusahaan. Apabila perusahaannya tidak memberikan upah sebesar Upah Minimum,  pekerja ini  akan  membahas masalahanya dengan pihak manajemen ataupun pelaku usaha. Wacana pengawasan pengupahan ini juga dapat diperluas lagi pada tingkat serikat atau organisasi pekerja. Serikat pekerja yang anggotanya adalah para pekerja ini diharapkan dapat berperan lebih aktif baik dalam penentuan besarnya upah di tingkat perusahaan maupun dalam pengawasan pembayarannya.  Pengawasan yang dilakukan oleh serikat pekerja ini diharapkan lebih efektif karena mempunyai bargaining power yang lebih kuat dibanding dengan pekerja secara individual.
Jika pembahasan di tingkat perusahaan yang bersifat bipartite ini belum memberikan hasil, maka masalahnya dapat dikonsultasikan kepada kantor dinas ketenagaklerjaan di tingkat kabupaten ataupun kota. Pekerja juga dapat mengadukan masalahanya ke Bupati atau Wali Kota sebagai pihak yang menetapkan besarnya Upah Minimum. Untuk kasus DIY, karena upah ditetapkan di tingkat propinsi, maka masalhnya dapat diadukan ke Gubernur. Meskipun sampai saat ini Upah Minimum seluruh kelima Kabupaten Kota (Gunung Kidul, Bantul,  Kulon Progo, Sleman, dan kota) ditetapkan sama, namun kedepan dapat digagas penentuan Upah Minimum  yang ebrbeda mengingat kelima Kabupaten dan Kota tresebut meskipun secara geografis dekat, namun dari segi tingkat perekonomian berbeda.  
  Dari sudut pandang pelaku usaha, pengawasan ini juga dapat bernilai positif, di mana permasalahan pengupahan dapat segera dikomunikasikan untuk brsama-sama dipecahkan. Munculnya pemogokan bukan hanya merugikan secara finansial bagi kedua belah pihak  tetapi juga merusak hubungan kerja yang sudah terbangun sebelumnya. Ketidakmampuan pelaku usaha dalam membayar upah minimal sebesar Upah Minimum  juga dapat dikomunikasikan dengan pekerja ataupun serikat pekerjanya, untuk selanjutnya diambil suatu kesepakatan. Sementara itu dinas ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota dapat mengambil peran dalam legalisasi dan pengawasan pelaku usaha yang  mengajukan penundaan pembayaran Upah Minimum  sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Sri Haryani
Dosen STIM YKPN



Previous
Next Post »